Mampukah
kita membalas budi orang tua? Terutama ibu kita yang menanggung kesulitan
ketika hamil, melahirkan, menyusui hingga menyapih. Ada seorang anak yang
diceritakan pernah memikul ibunya ketika thowaf keliling Ka’bah, itu pun belum
bisa dikatakan membalas setarik nafas yang ia keluarkan ketika melahirkan kita.
Wallahul musta’an.
Ada dua hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
kitab Adabul Mufrod pada hadits no. 10 dan 11 yang menerangkan bagaimana balas
budi pada orang tua sebagaimana berikut ini.
Tidak Bisa Membalas Budi Orang Tua
Dari Abu Hurairah dari “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau bersabda,
لاَ يَجْزِى وَلَدٌ وَالِدَهُ إِلاَّ أَنْ يَجِدَهُ
مَمْلُوْكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ
“Seorang anak tidak dapat membalas budi kedua orang
tuanya kecuali jika dia menemukannya dalam keadaan diperbudak, lalu dia
membelinya kemudian membebaskannya.” (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Adabul
Mufrod no. 10, shahih) Lihat Al Irwa’ (1737): [Muslim: 20, kitab Al ‘Itqu, hal
25-26]
Faedah dari hadits di atas:
1- Agungnya hak orang tua dalam Islam, sampai sulit
untuk dibalas jasa-jasa mereka.
2- Jika orang tua adalah seorang budak (hamba sahaya),
maka seorang anak wajib membeli orang tuanya lantas memerdekakannya.
3- Budak dinyatakan merdeka bisa jadi hanya dengan
kepemilikan anggota kerabatnya.
4- Anak tidaklah menunaikan hak orang tua yang menjadi
budak hingga ia memerdekakannya ketika telah membelinya.
Sambil Menggendong Ibu di Punggung
Dari Abi Burdah, ia melihat melihat Ibnu Umar dan
seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar ka’bah sambil
menggendong ibunya di punggungnya. Orang itu bersenandung,
إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ
أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ
Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat
patuh.
Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan
lari.
ثُمَّ قَالَ : ياَ ابْنَ عُمَرَ أَتَرَانِى جَزَيْتُهَا
؟ قَالَ : لاَ وَلاَ بِزَفْرَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ طَافَ ابْنُ عُمَرَ
فَأَتَى الْمَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ : يَا بْنَ أَبِى مُوْسَى
إِنَّ كُلَّ رَكْعَتَيْنِ تُكَفِّرَانِ مَا أَمَامَهُمَا
Orang itu lalu berkata, “Wahai Ibnu Umar apakah aku
telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, walaupun setarik
nafas yang ia keluarkan ketika melahirkan.” Beliau lalu thawaf dan shalat dua
raka’at pada maqam Ibrahim lalu berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa (Abu Burdah),
sesungguhnya setiap dua raka’at (pada makam Ibrahim) akan menghapuskan berbagai
dosa yang diperbuat sesudahnya.” (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod
no. 11, shahih secara sanad)
Faedah dari hadits di atas:
1- Dorongan berbakti pada ibu.
2- Besarnya hak orang tua yang mesti dipenuhi oleh
anak.
3- Shalat menghapuskan berbagai dosa kecil.
4- Keutamaan thowaf dan shalat di belakang maqam
(bebas jejak kaki) Ibrahim.
5- Sulitnya membalas jasa orang tua walaupun dengan
menggendongnya ketika thowaf, seperti itu belum bisa membalas seluruh jasa
mereka.
—
Jika kita telah melihat kedua hadits di atas bahwa
jasa orang tua (terutama ibu) teramat sulit itu dibalas, lantas bagaimana kita
membalas jasa mereka?
Jadilah anak yang berbakti, taat pada perintah mereka
selama dalam kebaikan, jadi pula anak sholih yang rajin menyertai mereka dalam
do’a-do’a kita. Jika mereka telah tiada, banyak doakan mereka, jadilah anak
sholih yang giat ibadah karena setiap amalan anak bermanfaat bagi orang tua
yang sudah tiada, juga ikatlah hubungan baik dengan kerabat dan kolega mereka.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ أَهْلَ
وُدِّ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya kebajikan terbaik adalah perbuatan
seorang yang menyambung hubungan dengan kolega ayahnya.” (Disebutkan dalam
Adabul Mufrod no. 41, shahih)Lihat As Silsilah Ash Shahihah (3063): [Muslim:
45-Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab, hal. 11-13]
Semoga kita jadi anak yang berbakti dan dimudahkan
untuk meraih surga dengan bakti tersebut. Wallahu waliyyut taufiq.
No comments:
Post a Comment